Yogyakarta, 8 Agustus 2025 — Isu royalti musik di Indonesia terus menjadi perhatian serius karena menyangkut hak ekonomi para pencipta dan pekerja kreatif lainnya. Pada 2016, Inul Vizta Manado dinyatakan bersalah karena memutar lagu tanpa izin resmi, menyoroti pentingnya legalitas penggunaan karya. Akibatnya, Inul Vizta Manado diwajibkan membayar denda sebesar Rp 15 juta kepada Yayasan Karya Cipta Indonesia (Detik, 2016). Persoalan serupa kembali mencuat pada tahun 2023, terjadi konflik royalti antara Ahmad Dhani dan Once Mekel yang disebabkan Once membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa izin. Ahmad Dhani, sebagai pemegang hak cipta, menuntut royalti melalui skema direct license, sementara Once memilih jalur resmi pemerintah melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) (Detik, 2025).

Gambar 1 : Ahmad Dhani dan Once Mekel yang menjabat sebagai anggota DPR RI (sumber: Detik.com)

Puncak polemik royalti terjadi saat Agnez Mo dinyatakan bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin dan tanpa membayar royalti kepada penulisnya, Ari Bias. Kasus ini memicu perdebatan panjang mengenai ketidakjelasan regulasi, khususnya terkait siapa yang bertanggung jawab memastikan hak ekonomi pencipta lagu terpenuhi. Sejumlah musisi berpendapat bahwa tanggung jawab semestinya ada pada penyelenggara konser, mengingat merekalah yang mengelola keuangan acara (Jakarta Post, 2025). Situasi ini diperburuk dengan ditetapkannya Direktur Mie Gacoan sebagai tersangka atas pelanggaran hak cipta karena tidak membayar royalti atas lagu-lagu berlisensi milik artis di bawah LMK SELMI sejak tahun 2022 (Jakarta Post, 2025). 

Serangkaian kasus pelanggaran hak cipta menunjukkan bahwa persoalan royalti bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan mendasar bagi keberlangsungan hidup musisi dan penulis lagu di Indonesia. Sistem royalti diatur melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang memiliki mandat untuk mengumpulkan pembayaran royalti dari pengguna komersial karya musik berdasarkan tarif resmi Kementerian Hukum dan HAM. Dana tersebut kemudian didistribusikan kepada para pencipta, pemilik hak, dan pemegang hak terkait melalui LMK. Dalam hal ini, LMKN berperan sebagai koordinator nasional sistem royalti yang sah dan terstandarisasi (LMKN, 2015).

Meski sistem royalti telah diatur secara formal, kepercayaan musisi dan penulis lagu terhadap transparansi dan akuntabilitas LMKN semakin menurun, terutama karena tidak adanya kejelasan mengenai data dan alur distribusi royalti secara real-time. Guru Besar FHUI, Agus Sardjono, bahkan menilai bahwa pengelolaan sumber daya manusia dan sistem data di LMK maupun LMKN belum optimal (Kompas, 2025). Selain itu, berbagai permasalahan turut memperburuk situasi, seperti tumpang tindih fungsi antara LMK dan LMKN yang tidak harmonis, rendahnya literasi hukum di kalangan musisi, dan dana royalti yang mengendap akibat pencipta lagu tidak tergabung dalam LMK tertentu. Ditambah lagi, belum adanya sistem evaluasi dan indikator kinerja (KPI) yang seragam antar-LMK, tingkat kepatuhan pembayaran royalti yang masih rendah meskipun sosialisasi telah dilakukan, serta semakin banyaknya jumlah LMK tanpa disertai mekanisme evaluasi kinerja yang memadai. Seluruh persoalan ini memperlihatkan perlunya reformasi sistemik agar distribusi royalti lebih adil, transparan, dan berkelanjutan (Kompas, 2025).

Salah satu persoalan yang kerap luput dari perhatian adalah rendahnya kesadaran literasi hukum dan pemahaman tentang sistem royalti di kalangan musisi dan penulis lagu, terutama mereka yang tidak tergabung dalam Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tertentu. Hal ini menyebabkan banyak dana royalti mengendap dan tidak tersalurkan sebagaimana mestinya (Kompas, 2025). Kondisi ini semakin merugikan musisi dan penulis lagu independen yang tidak memiliki label atau perlindungan hukum memadai sehingga kesulitan memperjuangkan hak ekonominya. Kurangnya penghargaan terhadap karya serta sedikitnya dukungan konkret dari pemerintah turut memperkuat posisi mereka sebagai kelompok yang termarginalkan dalam ekosistem musik Indonesia.

Secara hukum, penyanyi dan pemusik yang tampil di kafe atau restoran tidak dibebani kewajiban membayar royalti atas lagu yang mereka bawakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 87 ayat 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kewajiban pembayaran royalti performing rights sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola kafe atau restoran setiap tahunnya kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) (Jawa Pos, 2025). Namun, posisi para pelaku kreatif ini tetap rentan dan belum sepenuhnya terlindungi secara hukum. Sebagian besar bekerja tanpa kontrak tertulis maupun sistem perlindungan formal sehingga berisiko menghadapi berbagai persoalan hukum, termasuk soal hak cipta dan kompensasi yang seharusnya mereka terima.

Penelitian Sutopo, et al. (2021) menunjukkan bahwa selama masa pandemi, sebagian besar pekerja kreatif menghadapi kekhawatiran akibat menurunnya, bahkan hilangnya, sumber penghasilan sehingga mereka terdorong untuk mencari strategi baru demi bertahan hidup. Salah satunya yakni membangun kolektif yang memungkinkan mereka saling terhubung dan berbagi informasi seputar pekerjaan dan peluang baru. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital juga menjadi kunci penting dalam mendukung aktivitas mereka untuk memperluas jaringan, meningkatkan keterampilan, dan memasarkan karyanya. Kolaborasi komunitas yang disertai adopsi teknologi digital menjadi modal utama dalam mendorong inovasi dan membuka ruang baru bagi keberlanjutan karya seni mereka.

Penelitian Sutopo & Woodman (2024) juga memperkuat temuan sebelumnya bahwa musisi muda Indonesia yang membangun karier secara mandiri (Do-It-Yourself) sangat bergantung pada jaringan sosial dan kolektivitas untuk bertahan di tengah ketidakpastian hidup. Ketidakmapanan posisi sosial menjadikan mereka lebih banyak beraktivitas di lingkup komunitas, pertemanan, tongkrongan, hingga pertunjukan berskala kecil. Mereka juga kerap menghadapi penghasilan yang tidak stabil sehingga terpaksa menggabungkan berbagai pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meskipun aktif menciptakan karya dan memiliki kekuatan kolektif, musisi muda ini tetap berada dalam posisi yang termarjinalkan secara sosial dan budaya.

Akibat ketatnya regulasi terkait royalti saat ini, sejumlah pelaku usaha mulai mencari cara untuk menghindari potensi masalah hukum. Kafe Rooftop di Pacet dan Trawas menyajikan live music akustik dengan lagu mancanegara, instrumental, dan musik indie tanpa label rekaman besar untuk menghindari sengketa royalti (Jawa Pos, 2025). Di sisi lain, beberapa pemilik usaha supermarket dan kafe di Denpasar memutuskan untuk tidak memutar musik sama sekali karena khawatir terkena pidana. Mereka mengaku merasa keberatan dan belum sepenuhnya memahami dikarenakan tidak aman secara hukum walaupun sudah menganggarkan dana untuk berlangganan layanan streaming musik digital (Jawa Pos, 2025).

Kurangnya kesadaran hukum mengenai hak cipta dan rendahnya apresiasi terhadap karya orang lain menunjukkan perlunya peningkatan sistem distribusi royalti yang lebih transparan dan akuntabel. Untuk menekan celah hukum, sistem ini juga didukung oleh kerangka pengawasan yang kuat dan batas waktu pembayaran yang jelas. Selain itu, penting bagi setiap individu, kelompok, atau organisasi untuk memperoleh izin penggunaan karya sebagai bentuk penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual. Sejumlah musisi sekaligus pencipta lagu seperti Ahmad Dhani, Juicy Luicy, Thomas Ramdhan, Charly Van Houten, dan Rhoma Irama telah memberikan izin kepada pemilik kafe atau restoran untuk menyetel lagu mereka, baik melalui komunikasi langsung maupun penggunaan terbuka dengan syarat tertentu (Kompas.com, 2025).

Gambar 2 : Sederet artis yang mengizinkan mainkan lagu tanpa harus membayar royalti (sumber: Detik.com)

Sebagai alternatif, penggunaan karya berlisensi copyleft dapat menjadi solusi untuk menghindari persoalan hukum. Karya yang berstatus copyleft juga mendukung kebebasan dalam penggunaan, modifikasi, dan distribusi ulang karya selama pencipta asli tetap dicantumkan. Copyleft merupakan respons terhadap pembatasan hak cipta (copyright) yang dinilai menghambat kolaborasi, akses terbuka, dan keadilan dalam distribusi karya. Dalam konteks musik, lisensi ini memungkinkan pencipta tetap mempertahankan kontrol moral atas karyanya tanpa mengunci akses secara eksklusif (Serfiyani, et al., 2021). Upaya ini juga berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) poin ke-8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.


Ingin eksplorasi topik penelitian lebih lanjut?

Temukan dan akses sumber referensi dari konten kami dengan cara : 

  1. Situs web Summon Discovery 2.0 (http://ugm.summon.serialssolutions.com) untuk akses artikel penelitian terbaru.
  2. Kunjungi DIGILIB FISIPOL Lantai 3 mengakses dan membaca koleksi koran cetak dan digital yang tersedia.

Perluas wawasan dan temukan referensi dari penelitian Dosen FISIPOL UGM dan koran yang telah dilanggan melalui layanan bibliometrik : http://ugm.id/digilibkliping


Daftar Pustaka

  1. Anggraini, P. (2025, 26 Maret). Awal Mula Permasalahan Direct License Ahmad Dhani ke Once Mekel. Detikcom. https://www.detik.com/pop/music/d-7842458/awal-mula-permasalahan-direct-license-ahmad-dhani-ke-once-mekel
  2. Indrawan, A. F. (2016, 22 Desember). Tak Bayar Royalti, Inul Vista Manado Dihukum Bayar Denda Rp 15 Juta. Detikcom. https://news.detik.com/berita/d-3377830/tak-bayar-royalti-inul-vista-manado-dihukum-bayar-denda-rp-15-juta
  3. Janti, N. (2025, 3 Maret). Royalties 101: Lawsuit stirs up debate in Indonesian music scene. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/culture/2025/03/05/royalties-101-lawsuit-stirs-up-debate-in-indonesian-music-scene.html
  4. Kompas. (2025, Agustus 4). LMKN dalam Gonjang-ganjing Royalti
  5. Jawa Pos. (2025, Agustus 8). Pemilik Supermarket-Kafe di Denpasar Pilih Tak Putar Lagu, hal. 2. 
  6. Jawa Pos. (2025, Agustus 5). Pengusaha Resto dan Kafe Bingung Hitung Royalti, Hal. 2.
  7. News Desk (The Jakarta Post). (2025, 23 Juli). Mie Gacoan Bali franchise operator named suspect for failing to pay music royalties. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/indonesia/2025/07/24/mie-gacoan-bali-franchise-operator-named-suspect-for-failing-to-pay-music-royalties.html
  8. Pangerang, A. M. K. (2025, 7 Agustus). Daftar Musisi yang Gratiskan Lagunya Dipakai di Kafe, dari Ahmad Dhani hingga Rhoma Irama. Kompas.com. https://www.kompas.com/hype/read/2025/08/07/080244166/daftar-musisi-yang-gratiskan-lagunya-dipakai-di-kafe-dari-ahmad-dhani?page=all#page2
  9. Serfiyani, C. R., Serfiyani, C. Y., Hariyani, I., & Arsari, D. T. (2021). Developers’ Data Protection in the Open-Source Application with the Copyleft License. Lentera Hukum, 8(1), 23–48. https://doi.org/10.19184/ejlh.v8i1.21012.
  10. Sutopo, O. R., Beta, A. R., Utomo, A., Wibawanto, G. R., & Kurnia, N. (2021, August 18). Bagaimana pekerja kreatif muda di Yogyakarta tetap produktif pada masa pandemi. The Conversation. https://theconversation.com/bagaimana-pekerja-kreatif-muda-di-yogyakarta-tetap-produktif-pada-masa-pandemi-165627
  11. Sutopo, O. R., & Woodman, D. (2024). Socius improvisus: young musicians, DIY careers and uncertainty in Indonesia. Journal of Youth Studies. https://doi.org/10.1080/13676261.2024.2446966.
  12. Tentang Kami – LMKN. (2015). Lmkn.id; Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. https://www.lmkn.id/tentang-kami/
  13. Undang-undang Tentang Hak Cipta, Nomor 28 (2014). Diakses pada tanggal 7 Agustus 2025 dari : https://www.dgip.go.id/unduhan/kompilasi-pp?kategori=hak-cipta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *