Yogyakarta, 10 Oktober 2025 – Pada tanggal 17 September 2025, Ketua Badan Legislasi DPR (Baleg) Bob Hasan menyatakan bahwa usulan undang-undang yang mengatur layanan transportasi sesuai permintaan (RUU Transportasi Sesuai Permintaan) akan masuk ke dalam daftar undang-undang prioritas (Prolegnas) 2026. Penyusunan RUU ini mulai dilaksanakan pada Kamis, 18 September 2025, dalam sidang yang dihadiri oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (The Jakarta Post, 2025)

Pada saat yang bersamaan, sekitar 2.000–5.000 pekerja gig yang terdiri dari pengemudi roda dua, roda empat, dan kurir ojol menggelar demonstrasi di Jakarta, bertepatan dengan peringatan Hari Perhubungan Nasional. Demonstrasi ini dilakukan karena para pengemudi ojol menuntut Menteri Perhubungan, Dudy Purwaghandi, agar segera mundur lantaran dinilai lebih berpihak pada perusahaan aplikasi transportasi daring. Ketua Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menyebut telah terjadi vendor-driven policy, dimana kebijakan Kementerian Perhubungan dikendalikan oleh perusahaan aplikasi transportasi daring. Akibatnya, Menteri Perhubungan dianggap mendukung perusahaan aplikasi dan menjadi juru bicara mereka untuk menolak aspirasi pengemudi ojol (Tempo, 2025).

Atas dasar itu, para demonstran mengajukan tujuh tuntutan utama (Tempo, 2025) yaitu :

  • Mendesak RUU Transportasi Online masuk ke Prolegnas 2025–2026. Menetapkan batas potongan maksimal 10 persen dari aplikator.
  • Membuat regulasi khusus mengenai tarif antar barang dan makanan.
  • Melakukan audit investigatif terhadap potongan tambahan 5 persen dari aplikator.
  • Menghapus program seperti Aceng, Slot, Multi Order, Member Berbayar, dan lainnya yang dianggap merugikan mitra pengemudi.
  • Mendesak Presiden untuk mencopot Menteri Perhubungan.
  • Mendesak Kapolri mengusut tuntas kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas pada 28 Agustus lalu.

Ojek online (ojol) kini menjadi salah satu penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan. Data BPJS menunjukkan bahwa sekitar dua juta pengemudi ojol telah terdaftar dalam platform tersebut. Penelitian dari PRAKARSA menemukan bahwa dalam survei tahun 2017, sebanyak 60% pengemudi menjadikan ojol sebagai pekerjaan utama, dan 26% di antaranya bekerja lebih dari 48 jam per minggu. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pengemudi ojol terus meningkat seiring kemunculan berbagai platform penyedia jasa transportasi online yang membangun narasi bahwa ojol telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional (The Jakarta Post, 2025).

Dibalik narasi tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah para pengemudi ojol benar-benar berdaya, atau sekadar bertahan dalam sistem kerja yang rentan?

Fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari gig economy. Gig economy merupakan sistem pasar yang mempertemukan penyedia jasa dengan konsumen berdasarkan gig (pekerjaan jangka pendek) untuk memenuhi permintaan secara langsung. Dalam model ini, pekerja gig menjalin perjanjian formal dengan perusahaan penyedia layanan sesuai permintaan untuk menyediakan jasa kepada pengguna. Melalui aplikasi daring dari ponsel, pengguna dapat memperoleh layanan dari pekerja gig yang terikat secara kontraktual untuk menyelesaikan pekerjaan dan menerima kompensasi sesuai kesepakatan (Bradley, Donovan, & Shimabukuro, 2017).

Hal itu sesuai dengan kebangkitan ojol yang tidak bisa lepas dari struktur pasar tenaga kerja Kebangkitan ojol tidak dapat dilepaskan dari struktur pasar tenaga kerja Indonesia yang telah lama terbentuk. Pada tahun 2023, sekitar 59.11% pekerja Indonesia bekerja di sektor informal (Badan Pusat Statistik, 2024). Selain itu, sektor jasa mengalami peningkatan signifikan dan mendominasi distribusi tenaga kerja di Indonesia selama periode 2013–2023 dengan rata-rata 46,28% (World Bank, 2025). Pada tahun 2024, rata-rata upah bersih pekerja informal di sektor jasa sebesar Rp2,24 juta per bulan, lebih tinggi dibandingkan sektor manufaktur dan pertanian (Badan Pusat Statistik, 2025).

Grafik 1. Proporsi pekerjaan informal di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2018

Grafik 2. Distribusi tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi tahun 2013-2023 di Indonesia

Grafik 3. Rata-rata upah bersih bulanan pekerja informal di Indonesia pada tahun 2024 menurut sektor (dalam juta Rupiah)

Meskipun pekerjaan gig sering disebut fleksibel dan memberikan kebebasan, kenyataannya justru membuat pekerja semakin rentan dan mudah dieksploitasi. Penelitian Wulansari, Novianto, Keban, & Hernawan (2024) menemukan bahwa fleksibilitas kerja bagi pengemudi ojol hanyalah mitos karena perusahaan menggunakan kontrol algoritma yang memaksa pengemudi bekerja terus-menerus agar pendapatannya tidak menurun. Sistem algoritma ini membuat pengemudi kehilangan kebebasan memilih jam kerja karena adanya ancaman sanksi hingga pemutusan hubungan kerja sepihak. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dapat terus mengejar keuntungan, sementara pekerja kehilangan jaminan dan posisi tawar sehingga tetap berada dalam kondisi kerja tidak stabil (prekariat).

Penelitian Putri, Darmawan, & Heeks (2023) juga menemukan adanya ketimpangan dan ketidakadilan kerja bagi pekerja gig, khususnya pengemudi ojol. Dengan menggunakan 5 (lima) prinsip Fairwork framework, penelitian tersebut menunjukkan bahwa empat aspek utama yakni fair pay, fair contracts, fair management, dan fair representation tidak terpenuhi, sedangkan fair conditions hanya terpenuhi sebagian. Artinya, pengemudi ojol menghadapi upah yang tidak layak akibat potongan yang ditanggung sendiri, jam kerja berlebihan, persaingan ketat, tidak memiliki status karyawan sehingga tidak berhak mendapatkan cuti berbayar, asuransi, dan pensiun, serta tidak memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasi karena keputusan sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh platform.

Temuan dari Novianto, Wulansari, dan Keban (2023) memperkuat hasil penelitian sebelumnya dengan menunjukkan bahwa kondisi kerja pengemudi ojol, jauh dari konsep kerja layak berdasarkan sepuluh indikator utama pekerjaan layak dari International Labour Organization (ILO). Hanya dua indikator yang terpenuhi, yaitu tidak adanya kerja paksa atau pekerja anak dan tidak adanya diskriminasi eksplisit. Selebihnya, indikator lainnya tidak terpenuhi karena rata-rata pengemudi bekerja selama 13,4 jam per hari (87,1 jam per minggu), 60% mengalami kekurangan pesanan, pendapatan masih di bawah upah minimum, 68,62% mengalami sakit selama bekerja, tidak ada ruang dialog, serta mudah terkena sanksi atau pemutusan hubungan kerja tanpa jaminan kesehatan dari platform.

Kerentanan pekerja gig muncul merupakan konsekuensi dari sistem neoliberal yang mempertahankan surplus tenaga kerja demi fleksibilitas pasar dan keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Sejalan dengan temuan Habibi & Juliawan (2018), sejak berakhirnya masa oil boom, kebijakan neoliberal di Indonesia telah memperkuat kekuasaan kapital internasional dan melemahkan posisi tawar kelas pekerja. Negara kemudian diarahkan untuk melayani kepentingan pasar global melalui industri padat karya berorientasi ekspor yang bergantung pada tenaga kerja murah dan tertekan secara politik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi lebih menitikberatkan pada akumulasi modal daripada penciptaan pekerjaan layak sehingga mempertahankan kondisi kerja tidak tetap, rentan, dan prekariat pada kalangan pekerja.

Pesatnya perkembangan ojol di Indonesia mencerminkan bentuk nyata dari gig economy, fleksibilitas yang dijanjikan justru menutupi realitas kerja yang tidak stabil dan sarat ketidakadilan. Di balik narasi “kemitraan” dan “kebebasan waktu”, para pengemudi menghadapi kontrol algoritma yang ketat, jam kerja panjang, upah rendah, tidak adanya perlindungan sosial dan ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kondisi ini merupakan dampak dari kebijakan neoliberal yang sejak lama membentuk struktur pasar tenaga kerja Indonesia untuk menekan biaya tenaga kerja, memusatkan keuntungan pada segelintir pemilik modal, dan mempertahankan surplus tenaga kerja agar ekonomi tetap fleksibel bagi kepentingan kapital global. Untuk mencapai keadilan kerja bagi pekerja gig seperti pengemudi ojol, dibutuhkan regulasi yang tegas, pengakuan hubungan kerja formal, dan keberpihakan negara pada kesejahteraan pekerja.


Ingin eksplorasi topik penelitian lebih lanjut?

Temukan dan akses sumber referensi dari konten kami dengan cara : 

  1. Situs web Summon Discovery 2.0 (http://ugm.summon.serialssolutions.com) untuk akses artikel penelitian terbaru.
  2. Kunjungi DIGILIB FISIPOL Lantai 3 mengakses dan membaca koleksi koran cetak dan digital yang tersedia.

Daftar Pustaka : 

  1. Badan Pusat Statistik Indonesia. (June 5, 2024). Share of informal employment in Indonesia from 2018 to 2023 [Grafik]. In Statista. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2025 dari  https://www.statista.com/statistics/1336051/indonesia-share-of-informal-employment.
  2. Badan Pusat Statistik Indonesia. (February 28, 2025). Average monthly net wage for informal employee in Indonesia in 2024, by sector (in million Indonesian rupiah) [Grafik]. In Statista. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2025 dari  https://www.statista.com/statistics/1336001/indonesia-average-net-wage-for-informal-employee-by-sector/.
  3. Bradley, D. H., Donovan, S. A., & Shimabukuro, J. O. (2017). What Does the Gig Economy Mean for Workers?. Congress.gov. https://crsreports.congress.gov.
  4. Habibi, M., & Juliawan, B. H. (2018). Creating Surplus Labour: Neo-Liberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 48(4), 649–670. https://doi.org/10.1080/00472336.2018.1429007.
  5. Novianto, A., Dessi Wulansari, A., & Keban, Y. T. (2023). Searching for a better job. Work Organisation, Labour & Globalisation, 17(2), 71–90. https://doi.org/10.13169/workorgalaboglob.17.2.0071.
  6. Putri, T. E., Darmawan, P., & Heeks, R. (2023). What is fair? The experience of Indonesian gig workers. Digital Geography and Society, 5, 100072. https://doi.org/10.1016/j.diggeo.2023.100072.
  7. The Jakarta Post. (2025, 11 Agustus). Equitable Reform Required for the ‘Ojol’ Industry, hal. 7.
  8. The Jakarta Post. (2025, 19 September). House to Prioritize On-demand Transportation Bill Next Year. Tempo. Diambil pada tanggal 7 Oktober 2025 dari https://www.thejakartapost.com/indonesia/2025/09/19/house-to-prioritize-on-demand-transportation-bill-next-year.html.
  9. Tempo. (2025, 17 September). Apa Saja Tuntutan Demo Ojol Hari Ini?. Diambil pada tanggal 7 Oktober 2025 dari https://www.tempo.co/ekonomi/apa-saja-tuntutan-demo-ojol-hari-ini–2070508.
  10. Tempo. (2025, 17 September). Serba Serbi Demo Ojek Online Hari Ini, Tuntutan hingga Rute Unjuk Rasa. Diambil pada tanggal 7 Oktober 2025 dari https://www.tempo.co/politik/serba-serbi-demo-ojek-online-hari-ini-tuntutan-hingga-rute-unjuk-rasa-2070509.
  11. Wulansari, A. D., Novianto, A., Keban, Y. T., & Hernawan, A. (2024). Hiding behind the platform: the myth of flexibility for gig workers in Indonesia. South East Asia Research, 32(1), 22–40. https://doi.org/10.1080/0967828X.2023.2292101.
  12. World Bank. (April 15, 2025). Indonesia: Distribution of employment by economic sector from 2013 to 2023 [Graph]. In Statista. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2025 dari  https://www.statista.com/statistics/320160/employment-by-economic-sector-in-indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *